Kamis, 10 Desember 2009

Kebudayaan Suku Pedalaman , Suku Badui

KEBUDAYAAN SUKU BADUI
“Menyebut kata Badui mungkin orang langsung membayangkan sebuah suku masyarakat terpencil yang tinggal di pedesaan udik dan terisolasi dari berbagai perkembangan dunia yang semakin hari semakin mengglobal. Suku Badui yang terletak di wilayah selatan Provinsi Banten itu merupakan suatu kesatuan masyarakat yang terikat oleh kesamaan budaya, bahasa Sunda Badui, hidup berladang atau bercocok tanam, dan memegang teguh agama Sunda Wiwitan. ”
Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng - Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.Masyarakat Baduy yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.
Menariknya, pola hidup masyarakat Badui sampai saat ini tidak pernah berubah karena mereka ingin mempertahankan kekhasan mereka sebagai masyarakat yang unik, lain daripada masyarakat lain. Karena itu, Badui telah dijadikan salah satu aset wisata Banten, bahkan aset nasional yang perlu dipertahankan dan dipelihara.
Suku Badui terdiri atas dua kelompok, yakni orang Badui Dalam dan orang Badui Luar. Badui Dalam terdiri dari tiga kampung yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawarna. Sedangkan Badui Luar terdiri dari 51 kampung. Penduduk Badui Dalam sebanyak 600 jiwa sedangkan Badui Luar sebanyak 7.140 jiwa, yang dikelompokkan sebagai bagian dari Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Jarak antara Badui Luar dan Badui Dalam relatif jauh dan ditempuh dengan jalan kaki melewati hutan rimba dan pegunungan. Kalau orang Badui sendiri untuk bisa sampai ke Badui Dalam hanya memerlukan waktu empat jam. Sementara kalau orang non Badui selama kurang lebih delapan jam.
Penggunaan istilah orang Badui atau orang Kanekes, tidak lebih dari upaya orang-orang luar Badui memberi nama kepada kelompok masyarakat yang memang tinggal di sekitar Gunung Badui dan Sungai Cibadui itu. Untuk sebutan orang Kanekes, lebih disebabkan adanya Desa Kanekes yang membawahi seluruh perkampungan masyarakat Badui. Perlu diingat bahwa orang Badui bisa disebut orang Kanekes, namun orang Kanekes belum tentu orang Badui karena di Desa Kanekes juga terdapat perkampungan masyarakat non-Badui.
Bagi masyarakat Badui sendiri, tidak dikenal istilah orang Badui, orang Kanekes, Badui Dalam maupun Badui Luar. Masyarakat di sana menggunakan istilah urang tonggoh atau urang girang atau urang tangtu untuk menyebutkan Badui Dalam. Sedang untuk Badui Luar, mereka menggunakan istilah urang landeuh atau urang panamping. Istilah tersebut hingga saat ini masih dipergunakan. Orang Badui tidak akan menyebutkan dirinya dari Badui atau dari Kanekes. Mereka akan menyebutkan nama kampungnya, seperti urang Kaduketug untuk masyarakat Badui yang berasal dari Kampung Kaduketug atau urang Cibeo bagi yang berasal dari kampung Cibeo.
Pola hidup yang dijalani dan dilakoni orang Badui memang sangat menarik untuk dipelajari. Hidup mereka memang sangat tradisional. Hal ini dapat kita lihat dari cara berpakaian mereka yang sederhana. Pakaian yang mereka gunakan memang sangat khas dan kita bisa langsung membedakan orang Badui Luar dari orang Badui Dalam. Orang Badui Luar biasanya memakai ikat kepala hitam, baju hitam, dan celana hitam. Sedangkan orang Badui Dalam, sering dan wajib aturannya memakai kain ikat kepala berwarna putih, baju putih, dan celana putih.
Sementara mata pencaharian, baik Badui Dalam maupun Badui Luar pada umumnya adalah bercocok tanam atau berladang dengan sistem berpindah-pindah. Selain itu, mereka juga memiliki kerajinan tangan seperti menenun dengan model tenunan sarung dan selendang khas Badui. Kesamaan lain antara Badui Dalam dan Badui Luar seperti larangan untuk memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing karena digunakan untuk berburu. Hewan berkaki empat seperti sapi, kambing, kerbau, kuda, dan babi menurut mereka merupakan binatang yang merusak tanaman.
Perbedaannya, Badui Dalam tidak pernah naik kendaraan kalau bepergian. Karena itu setiap kali ke Jakarta atau ke mana saja mereka harus berjalan kaki dan tidak menggunakan alas kaki, sandal atau sepatu. Sedangkan orang Badui Luar sudah mulai terbuka terhadap perkembangan seperti menggunakan alas kaki dan bisa naik kendaraan kalau bepergian. Orang Badui Luar bisa berobat ke puskesmas kalau sakit, sementara orang Badui Dalam dilarang. Mereka menggunakan dukun kampung untuk menyembuhkan sakit. Pola rumah tinggal yang mereka gunakan juga sudah sedikit berbeda. Badui Dalam sama sekali dilarang untuk menggunakan paku dalam mendirikan rumah. Mereka hanya menggunakan tali untuk mengikat tiang rumah dan kerangka rumah lainnya. Sementara Badui Luar sudah bisa menggunakan paku untuk membuat rumah

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu.
Masyarakat Baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.
Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini mengadakan upacara Seba kepada “Bapak Gede” (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar.
Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi.
Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air. Semak belukar yang hijau disekitarnya turut mewarnai keindahan serta kesejukan suasana yang tenang. Keheningan dan kedamaian kehidupan yang bersahaja.
Ciri khas suku Baduy yang tinggal di pegunungan Kendeng, desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten Selatan adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun mereka. Salah satu tradisi yang masih bertahan adalah menenun dan cara berbusana. Oleh karena itu, ada yang beranggapan bahwa busana suku Baduy saat ini merupakan bentuk busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Wilayah desa Kanekes merupakan tanah adat suku Baduy, seluruh penduduknya adalah suku Baduy dan tidak bercampur dengan penduduk luar. Mereka bertutur dalam bahasa Sunda Buhun atau Sunda Kuno, dengan ciri sub dialek Banten. Ciri bahasa yang digunakan suku Baduy adalah tidak memiliki tinggi-rendah bahasa dengan aksen tinggi dalam lagu kalimat. Letak perkampungan biasanya berada di celah-celah bukit dan lembah yang ditumbuhi pepohonan besar. Jarak antara satu kampung dengan kampung lainnya berjauhan. Penduduknya menjaga, melindungi pohon dan hutan di sekitarnya dengan baik.
Peraturan adat sangat menentukan dalam sikap hidup suku Baduy, baik untuk keseimbangan hidup antar sesama maupun kelestarian kehidupan alamnya. Kehidupan sehari-harinya bersahaja. Barangbarang “modern” seperti sabun, kosmetik, piring, gelas dan peralatan pabrik dilarang dipakai. Tak ada listrik, radio dan televisi. Semuanya itu tabu (pamali).
Suku Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, disebut Panamping yang tinggal di 36 kampung luar dan Baduy Dalam, disebut Kajeroan yang tinggal di tiga kampung utama. Baduy Dalam, mengelompok menurut asal keturunan (tangtu) mereka, yaitu tangtu Cibeo, tangtu Cikertawana dan tangtu Cikeusik.
Dalam pandangan suku Baduy, mereka berasal dari satu keturunan, yang memiliki keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja. Baduy Dalam merupakan paroh masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Baduy Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang tabu.
Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya luar.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.
Kelengkapan busana bagi kalangan kali-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya. Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di pundaknya.
Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah.
Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Dari model, potongan dan cara berbusananya saja, secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah suku Baduy. Memang, pakaian bagi suku Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan lebih bersifat sebagai identitas budaya yang melekatnya. Mereka percaya bahwa semuanya itu merupakan warisan yang dituturkan oleh karuhun atau nenek moyang mereka untuk dijaga.
Kendati ada banyak hal yang berbeda, kehidupan orang Badui sangat harmonis dan penuh dengan kedamaian. Pola hidup gotong royong yang mereka terapkan membuat mereka hidup rukun. Mereka tampaknya sangat ramah, berbudaya, beradab, bahkan terhadap para wisatawan pun mereka memperlihatkan sikap ramah. Dalam sejarahnya belum ada orang Badui yang saling perang atau melakukan tindakan kriminal. Kenyataannya memang demikian, sesama orang Badui belum pernah terjadi saling membunuh, saling menipu, apalagi dengan orang luar Badui.
Kebersamaan mereka sangatlah kuat. Mereka mengadakan upacara adat secara bersamaan, menanam padi dan panen bersamaan, serta banyak kegiatan lain yang memang sudah terjadwal untuk dilaksanakan secara serempak.
Suku Badui mempunyai sistem pemerintahan yang sederhana namun efektif. Pusat pemerintahan dilakukan dari tiga kampung di Badui Dalam. Kampung Cikeusik, kampung paling selatan di Badui merupakan pusat pemerintahan yang mengurusi soal keagamaan dan adat istiadat. Kampung Cikartawana, (ci = air, karta = kota, wana = hutan), merupakan pusat pemerintahan yang mengurusi soal pertanian dan kesejahteraan masyarakat Badui. Terakhir adalah Kampung Cibeo yang letak geografisnya berada di tengah-tengah daerah Badui, menjadi pusat pemerintahan yang mengurusi bidang keamanan wilayah dan intelijen. Masing-masing ketiga kampung ini dipimpin oleh seorang kepala kampung yang diberi nama Puun.
Sejak dibukanya terminal Ciboleger, Desa Kanekes sekitar tahun 1992 yang menghubungkan daerah Badui dengan daerah luar, membawa dampak yang tidak sedikit. Lancarnya transportasi ke Ciboleger membuat Ciboleger menjadi pasar raya bagi masyarakat Badui. Dari mulai gayung plastik, pakaian, sepatu, sabun, shampo, alat tulis menulis hingga makanan dan minuman seperti coca cola, teh botol hingga chiki dan mi instan, banyak tersedia di Ciboleger. Ditambah dengan banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang dengan segala perilaku serta kebiasaan berbeda dengan masyarakat Badui.
Hal tersebut tentunya membawa perubahan dalam pola hidup masyarakat Badui, terutama Badui Luar. Di setiap kampung kita sudah biasa menjumpai paling tidak satu buah warung. Tidak heran bila saat ini di Badui Luar banyak orang yang sudah memakai sandal jepit, menggunakan kantong plastik, makan mi instan dengan sambal botolan, mencuci perabotan menggunakan sabun colek, dan para wanitanya membersihkan diri di sungai dengan sabun wangi serta shampo saset.
Kita tidak kesulitan meminta kertas dan ballpoin untuk menulis kepada penduduk Badui Luar, bahkan ada beberapa orang Badui Luar yang telah memiliki kartu nama sebagai media promosi diri dan daerahnya. Namun mereka tetap tidak mau merubah secara drastis adat serta budaya yang telah ada dengan segala konsekuensinya.
Kondisi tersebut tidak akan kita jumpai di Badui Dalam yang hingga saat ini tetap memegang teguh adat istiadat, budaya serta kebiasaan para pendahulunya. Kita boleh merasa lega karena di Badui Dalam masih belum tergoyahkan oleh kemajuan teknologi dan zaman.
Dengan terbukanya transportasi menuju wilayah Badui, semakin banyak wisatawan datang berkunjung ke daerah ini. Sembilan puluh lima persen wisatawan yang berkunjung adalah wisatawan lokal, selebihnya merupakan wisatawan mancanegara.
Minimnya brosur dan pemberitaan tentang Badui membuat calon wisatawan luar negeri tidak sempat melirik kawasan wisata ini. Agar wisatawan dapat menikmati perjalanan sambil mendapat penjelasan yang benar tentang Badui dan mengingat kondisi medan yang lumayan berat serta banyaknya larangan atau pamali di wilayah Badui, maka sudah seharusnya mereka membutuhkan jasa pramuwisata atau guide sebagai pemandu serta jasa porter sebagai pembawa barang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar